Ruang Baca Koran Tempo | Minggu, 26 April 2009 | Oleh Hernadi Tanzil*
Inilah karya
terakhir D.H. Law-rence, penulis Inggris, yang paling kontroversial. Lady
Chat-terley’s Lover pernah dianggap sebagai novel cabul karena deskripsinya
yang begitu gamblang mengenai persetubuhan terlarang antara dua insan yang
berbeda status sosial. Tak heran jika novel yang diterbitkan secara pribadi oleh
Lawrence pada 1928 di Florance, Italia, ini pernah dilarang beredar di Amerika,
Inggris, India, dan beberapa negara lainnya.
Namun,
pelarangan itu justru membuat novel ini menjadi terkenal dan semakin banyak
dicari. Hal inilah yang memancing edisi bajakannya beredar luas. Awalnya di New
York, menerobos London, kemudian menyebar ke berbagai negeri di Amerika dan
Eropa.
Ada dugaan,
novel ini dilarang di Inggris karena kaum bangsawan Inggris yang mapan tak
menyukainya. Maklum, Lawrence menceritakan pergaulan intim perempuan bangsawan
dengan seorang dari kalangan bawah. Selain itu, novel ini juga berisi kritik
sosial terhadap kehidupan kaum bangsawan.
Lebih dari 30
tahun semenjak diterbitkan, novel ini dilarang beredar utuh di Inggris hingga
akhirnya pada 1960 penerbit Penguin Books di Inggris nekad menerbitkannya secara
utuh. Karenanya, Penguin harus berhadapan dengan hukum dan diadili di Pengadilan
Old Bailey, London, selama enam hari pada 1960. Karena banyak saksi ahli yang
mendukung novel ini, pengadilan pun resmi menilai dan memutuskan bahwa The
Lady Chatterley’s bukanlah karya pornografis. Penguin memenangi perkara dan
buku ini secara utuh boleh beredar di Inggris.
Novel ini
mengisahkan kehidupan Connie Constance yang kemudian dikenal dengan Lady
Chatterley setelah menikah dengan Clifford Chatterley, bangsawan pemilik tambang
batu bara di Travershall, Inggris. Walau menikah dengan kalangan bangsawan dan
hidup dalam kemewahan di rumah besarnya di Wragby, Connie tak bahagia, apalagi
setelah suaminya menderita lumpuh permanen akibat perang.
Setelah
kelumpuhan itu, Clifford menjadi pribadi yang terluka dan impoten. Ia harus
terus berada di atas kursi roda. Ia senantiasa sendirian dan seperti orang yang
tersesat. Ia butuh Connie di sampingnya untuk meyakinkan dia tetap ada.
Walau mereka
selalu berdekatan, kehangatan cinta mereka telah lenyap, tubuh mereka menjadi
asing satu sama lain. Mereka begitu intim tanpa pernah bersentuhan. Connie
merasa tak mendapatkan kehangatan dari suaminya.
Setelah dua
tahun di Wragby dan menjalani hidup pengabdian pada suaminya, Connie merasa
terasing, kesepian, bosan, hampa. Tak adanya kehangatan dari suaminya membuat ia
gelisah yang semakin hari semakin memuncak. Hutan di sekitar rumahnya menjadi
tempat pelariannya. Di sanalah ia bertemu Oliver Mellors, penjaga hutan yang
merupakan pegawai Clifford. Bersama Mellors akhirnya ia menemukan kehangatan dan
keteduhan batin, sesuatu yang tak ia peroleh dari perkawinannya.
Connie
terperangkap di antara dua pria. Pada Clifford ia tetap melaksanakan
kewajibannya sebagai istri, dan pada saat yang sama ia tetap menjalin hubungan
dengan Mellors di hutan hingga akhirnya hamil. Namun ia tak takut. Ia memang
menghendaki anak, dan kehamilannya menjadi alasan untuk meminta cerai dari
Clifford. Tapi, meski terguncang, Clifford menampik keinginan istrinya dan
menawarkan solusi yang dianggapnya terbaik, walau bukan seperti yang diinginkan
Connie.
Seperti yang
menjadi kontroversi sejak diterbitkan, novel ini memang mengandung banyak
deskripisi erotis. Lawrence membungkusnya dengan kalimat-kalimat elok. Namun
tetap saja pembaca akan terbakar oleh deskripsi persetubuhan Connie dan Mellors.
Mereka bercinta di pondok Mellors, telanjang dan bercinta di tengah hutan di
bawah naungan hujan, bercinta di bawah pohon, dan lain-lain.
Persetubuhan
antara Connie dan Mellors bukan hanya sekadar pemuasan nafsu mereka semata, tapi
sebagai perwujudan kelegaan pribadi-pribadi yang terkungkung. Hubungan mereka
melahirkan ketenangan sejati bagi Connie. Jadi tujuan seks dalam novel ini lebih
pada penyembuhan. Walau seks yang mereka lakukan adalah hal yang terlarang,
Connie dan Mellors seperti terlahir kembali untuk bisa membuka diri dan menapaki
kehidupan baru.
Karakter-karakter yang dihidupkan oleh Lawrence dalam novel ini sangatlah
menarik. Hampir semua tokoh mentransformasikan dirinya dari pribadi yang rapuh
menjadi pribadi yang kuat dan melawan. Clifford, Connie, dan Mellors awalnya
merupakan pribadi-pribadi yang tertutup, tersisih, dan kesepian. Namun berbagai
peristiwa telah mengubah mereka. Contohnya adalah perlawanan terhadap tradisi
dan pendobrakan sekat-sekat kelas yang dilakukan secara simbolis oleh
perselingkuhan Connie dan Mellors.
Selain itu,
melalui novel ini kita juga dapat menangkap kritik sosial terhadap muramnya
kehidupan di Inggris setelah perang pada 1920an. Masyarakat terjebak ke dalam
lapisan-lapisan kelas, industrialisasi mulai merasuk, dan uang menjadi senjata
ampuh untuk mencapai kekuasaan. Melalui tokoh Clifford, seorang berdarah biru
dan tuan tanah pemilik tambang, akan terungkap bagaimana sikap para bangsawan
terhadap para pekerja tambang. Para pekerja, bagi mereka, bukan lagi manusia
seutuhnya, melainkan hanya alat produksi untuk mengeruk keuntungan bagi usaha
mereka.
Jadi novel ini
bukanlah sekadar novel erotis semata seperti yang mungkin selama ini menjadi
anggapan umum. Ada banyak hal bermakna dalam kisah cinta Lady Chatterly. Michael
Squares, editor Penguin Books, menulis dalam kata pengantarnya bahwa salah satu
yang ingin disampaikan oleh Lawrence dalam novel ini adalah upaya menyadarkan
masyarakat atas dirinya sendiri, mempertanyakan berbagai asumsi yang telah
mengakar, dan membangkitkan sebuah kejujuran dan keberanian yang menantang.
Karena itulah tampaknya karya yang telah berusia lebih dari 75 tahun ini masih
relevan.
Dibanding
aslinya, edisi terjemahan ini tampak lebih gemuk karena penerbit memasukkan
berbagai artikel tambahan, baik di awal maupun akhir novel ini. Artike-artikel
itu berupa catatan untuk edisi Penguin serta kata pengantar dan catatan panjang
dari penulis sebanyak seratus halaman, juga riwayat panjang Lawrence dan
apendiks sebanyak 23 halaman. Bagi pembaca awam, mungkin menjadi tak terlalu
bermanfat karena membaca artikel-artikel itu ternyata melelahkan.
Beberapa
kesalahan cetak juga ditemui di novel ini. Dari segi terjemahan bisa dibilang
baik, namun ada satu hal yang tidak konsisten dalam terjemahannya. Di sampul
belakang novel ini disebutkan Connie berselingkuh dengan penjaga kebun/tukang
kebun, sementara di seluruh bagian novel ini, profesi Oliver Mellors tidak
disebut sebagai tukang kebun melainkan penjaga hutan.
Namun usaha
untuk menerjemahkan novel klasik yang menggugah ini bagaimanapun patut dihargai.
Jika sebelumnya novel ini hanya dapat dibaca secara terbatas oleh para kalangan
yang melek sastra dalam bahasa Inggris, kini novel ini dapat terbaca oleh
kalangan yang lebih luas lagi.
* Hernadi
Tanzil, Book Blogger & Book Reviewer, Pengelola Situs http://bukuygkubaca .blogspot. com
____________ _________
DATA BUKU
Judul Buku : Lady Chatterley's Lover
Penulis : D.H. Lawrence
Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerjemah : Arfan Achyar
Editor
: Imam Muhtarom
Penerbit : Alvabet
Ukuran
: 13 x 20 cm
Cetakan : I, Desember 2008; II Februari 2009
Tebal : xii +
586 halaman
Harga
: Rp. 99.900,-