Mungkinkah,, mungkinkah,, mungkinkah,,
Kau mampir hari ini, bila tidak mirip kau jadilah bunga matahari,,
Yang tiba-tiba mekar ditaman, meski bicara dengan bahasa tumbuhan,,
Sepenggal lirik dari lagu milik Sal Priadi yang trending di 2024 dan itu memang mengena sekali, apalagi bagi kami yang pernah ditinggal orang yang disayangi. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, itu yang sering kita dengar. Namun pertanyaannya apakah kita siap untuk sebuah perpisahan? Saya pribadi merasa selalu tidak siap dengan kata-kata perpisahan, meski ada perpisahan yang bahagia namun kenangan selalu tertinggal. Dalam perjalanan berpisah ini, ada momen-momen yang akhirnya saya melow.
Menuju bulan Ramadhan tentu bagi kami seorang muslim, merasa bahagia senang dan banyak yang kami syukuri karena kami masih bisa bertemu kembali dengan bulan suci ini. Kami masih bisa menikmati waktu bersama dengan keluarga untuk nantinya menyambut bulan suci ramadhan dengan sholat tarawih berjamaah, sahur dan buka puasa serta merayakan hari kemenangan, insyallah. Namun hal berbeda tentu ada disetiap tahunnya, ada kisah yang tertulis maupun yang hanya tertinggal dalam kenangan kami.
2 tahun silam, perayaan hari raya kami berbeda. Kumandang takbir untuk menyambut esok perayaan yang lazimnya kami dengarkan dirumah dan dilanjut dengan keliling kampung, nyatanya harus kami dengarkan melalui dinding kamar Rumah Sakit. Senyuman bapak masih terekam jelas diingatan sampai detik saya menyematkan tulisan ini di blog.
Suara Bapak yang sudah tidak nyaring terdengar, bahkan harus lebih mendekat telinga ini dengannya. Selain suara yang sudah lirih, bapak juga tidak bisa berbicara dengan jelas. Lidahnya mulai kelu, karena stroke yang sudah lama beliau alami. Tidak mengapa, karena jika kami tidak jelas dengan apa yang diucapkan maka tertawalah kami bersama 😂 .. Bapak-bapak, tertawa kecilmupun bisa membuatku serindu ini.
Malam pertama Ramadhan kali ini menjadi tahun kedua yang kurasakan berbeda. Dikamarmu hanya ada ibu yang akan siap membangunkan kami di jam sahur. Semasa hidupmu, meski kau sakit dan hanya terbaring di tempat tidur, namun kau masih melaksanakan sholat 5 waktu dan berpuasa. Aku yakin itu semua karena engkau masih memiliki semangat sama seperti saat engkau sehat.
Bapak,, sejak aku mengingat masa kecil sampai aku bisa menemani diakhir masa hidupmu, tak pernah aku melihat engkau bernada tinggi kepada istri atau anak-anakmu, tak pernah aku merasakan pukulan atau cubitan, tak pernah aku mendengar engkau berkata kasar, tak pernah aku melihat engkau melotot atau mengacungkan telunjuk jari untuk mengeluarkan rasa amarahmu. Sebesar apa beban yang kau pikul, aku tak pernah melihat engkau berkeluh kesah. Selalu candaan dan guyonan yang terlontar darimu, meski aku selalu ngambek dan marah, tapi engkau tetap saja tenang. Pak, kalau bisa aku mendengar seberat apa yang kau alami, aku mau loh untuk mendengarnya. Tapi engkau memilih untuk tidak melakukan itu dan selalu memberikan yang terbaik yang engkau miliki.
Apakah kau sempurna? tentu tidak, tapi engkau yang terbaik yang Allah berikan untuk kami.
Hingga masa tuamu, masa sakitmu, masa tak berdayamu, engkau masih dengan versi terbaikmu. Dengan legowonya engkau menerima masa-masa itu, dengan hanya berbaring diatas tempat tidur, menonton saluran TV kesukaanmu dan makan pun diatas tempat tidur. Hal yang membuatku rindu adalah ketika engkau memintaku untuk memijat, memotong kuku dan memandikanmu. Hal yang mungkin dirindukan oleh banyak anak-anak lainnya. Hal yang tak pernah terbayangkan olehku, bahwa aku akan mendapatkan kesempatan emas ini, iya benar aku mendapatkan Golden Ticket.
Dulu aku mengira, kenapa harus aku? kenapa anak terkahir ini yang harus melakukan? kenapa aku yang seharusnya bisa menikmati jalan-jalan enak dengan keluarga, menjalankan aktivitas menarik lainnya diluar sana, tapi harus dihadapkan dengan menjagamu. Tapi ternyata tidak semua memiliki kesempatan yang sama denganku, mungkin dulu terasa berat tapi berat itu ternyata yang aku rindukan saat ini.
Dalam hari terakhirmu, aku masih bisa berpamitan untuk pergi sejenak karena aku harus menjalankan tugas sebagai pemandu acara syawalan di kantor. Kupasangkan selang oksigen agar kau bisa tertidur dengan nyaman, kupastikan obatmu sudah dikonsumsi semua. Sampun ya pak, Ari berangkat kerja dulu..
Semua berjalan dengan epiknya, acara syawalan sudah selesai dengan paripurna. Tak lama setelahnya telepon berdering di HP sahabatku satu kantor yang rumahnya pun berdekatan denganku. "Ri, tenang ya banyak berdoa. Sekarang kita pulang ya" pinta temanku. Ok gas untuk pulang kerumah, dan dalam perjalanan aku yakin semua sedang tidak baik-baik saja.
Masih dengan dress berwarna hijau sage yang aku kenakan di acara syawalan kala itu, ternyata pamitku merupakan pamitan terakhirku yang bisa aku ucapkan padamu. Bapak kau pergi disaat yang tepat, kau pergi dengan kenangan terindah saat ibu masih menyuapimu. Suapan terakhir itu menjadi ibadah fisik yang bisa ibu berikan untukmu. Bapak engkau pergi dengan tenang, saat semua sudah selesai.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun ... telah berpulang kehadirat Allah SWT ... Siar dimasjid yang sering kudengar, namun saat itu yang kudengar adalah namamu. Allah mudahkan seluruh jalannya, proses pemakaman berjalan begitu lancar. Bapak, aku mencintaimu dan kupanjatkan doa disetiap sujudku. Sosokmu menjadi panutan untukku, belajar caramu tersenyum, bersendau gurau dan legowo itu yang harus aku tiru.
Bapak, aku yakin engkau melihatku dari tempat terindah disana,, sekarang anakmu ini sudah lebih kuat bahunya. Saat ini anakmu diberikan kembali kesempatan yang hampir sama, yaitu merawat bapak mertua. Pak,, doakan aku disana agar langkah pijakanku semakin kuat, sandaranku semakin tegak, hatiku semakin tertata, dan hidupku lebih bermakna.
Pak,, tapi bolehkan aku menangis terisak jika aku terkadang merasa lemah? bolehkan aku sedikit menggerutu jika keadaan mulai tidak baik-baik saja? tenang pak, akan aku takar sesuai kemampuanku. Katamu jangan berlebihan apapun itu, siap pak 😍
#penulissubuh
0 comments:
Post a Comment